Oleh : Dhidhik Seiabudi
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah
Mengamati sastra lama dalam rangka menggali kebudayaan Indonesia merupakan usaha yang erat hubungannya dengan pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya. Pembangunan negara yang sifatnya multikompleks memberi tempat kepada bidang mental spiritual. Berbicara mengenai sastra adalah identik berbicara tentang kehidupan. Sebagai suatu seni, sastra sering terungkap dan kita temui melalui bahasa, musik, benda-benda budaya seperti candi-candi dan naskah-naskah kuno maupun adapt-istiadat.
Kita boleh bangga bahwasanya bangsa kita, bangsa Indonesia memiliki dokumen-dokumen sastra lama sebagai salah satu warisan nenek moyang. Namun demikian kita tidak boleh puas dengan cukup berbangga hati saja terhadap peninggalan yang ada. Di samping menjaga kelestariannya, kita juga harus dapat berbuat sesuatu terhadap peninggalan-peninggalan tersebut dengan melakukan tindakan untuk menggali nilai nilai yang terkandung dalam serat tersebut untuk memberi makna bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini tampaknya sesuai dengan kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakan bangsa Indonesia sekarang. Pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia sekarang adalah pembangunan manusia yang seutuhnya yaitu yang meliputi seluruh aspek baik aspek jasmaniah maupun rohaniahnya, segi material maupun mental-spiritualnya. Namun demikian sering kali orang terpesona pada segi materialnya saja dengan mengorbankan segi mental-spiritualnya sehingga hubungan antara pribadi menjadi tidak seimbanh, akibatnya manusia hanya dinilai dari segi fisik, jasmani, atau materialnya saja. oleh karena itu sangat tepat sekali bagi kita untuk menggali kembali nilai nilai filosofis dalam Serat Wedha-Ma-Sapta
Serat Wedha-Ma-Sapta karya R.Ng. Hardjasukatma merupakan salah satu warisan budaya Jawa berupa karya sastra dalam bentuk tembang. Wedha-Ma-Sapta mengandung tujuh ajaran yang merupakan sifat-sifat yang secara kodrati terdapat dalam diri manusia. Ketujuh sifat tersebut apabila tidak dapat dikoordinasikan secara baik maka akan menyeret diri manusia ke arah perbuatan asosial, namun sebaliknya apabila sifat-sifat itu dikendalikan dengan baik justru akan dapat membentuk manusia utama, baik secara kualitas maupun kuantitas. Perlu menjadi catatan, karena ketujuh sifat di atas merupakan sifat yang kodrati dan manusiawi; oleh karena itu, apabila manusia dalam hidupnya mengalami hal-hal tersebut di atas sebagai penyimpangan maka Wedha-Ma-Sapta ternyata memberi toleransi sejauh peruatan tersebut masih dalam batas-batas yang wajar.
B.Rumusan Masalah
1.Apa Serat Wedha-Ma-Sapta ?
2.Nilai nilai apa yang terkandung dalam Serat Wedha-Ma-Sapta ?
3.Apa manfaat dari Serat Wedha-Ma-Sapta bagi kehidupan di era sekarang ini ?
C.Tujuan Penelitian
1.Mengetahui deskripsi Serat Wedha-Ma-Sapta.
2.Mengetahui nilai nilai yang terkandung dalam Serat Wedha-Ma-Sapta.
3.Mengetahui manfaat dari Serat Wedha-Ma-Sapta bagi kehidupan di era sekarang ini.
D.Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat secara teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yakni untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai nilai filosofis yang terkandung dalam Serat Wedha-Ma-Sapta, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan untuk menambah referensi tentang hasil peninggalan sejarah di Indonesia yang berupa serat yang mengandung nilai nilai yang patut untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam menjalani hidup di jaman modern seperti sekarang ini.. Sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat mejadi relevansi bagi penelitian selanjutnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Definisi Nilai
Menurut Schwartz dalam http://rumahbelajarpsikologi.com menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.
Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya ‘diinginkan’, di mana ‘lebih diinginkan’ mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin dilakukan individu atau mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku (Kluckhohn via http://rumahbelajarpsikologi.com). ‘Lebih diinginkan’ ini memiliki pengaruh lebih besar dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian maka nilai menjadi tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah. Karena nilai diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu (Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi tahan lama dan stabil (Rokeach, 1973). Jadi nilai memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal tertentu. Salah satunya adalah bila terjadi perubahan sistem nilai budaya di mana individu tersebut menetap (Danandjaja, 1985).
B.Definisi Filosofis
Filosofis berasal dari kata filsafat yang berarti pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
C.Definisi Nilai nilai Filosofis
Nilai nilai filosofis adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidup yang terdapat dalam pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.
BAB III
PEMBAHASAN
A.Deskripsi Serat Wedha-Ma-Sapta
Serat Wedha-Ma-Sapta karya R.Ng. Hardjasukatma merupakan salah satu warisan budaya Jawa berupa karya sastra dalam bentuk tembang. Wedha-Ma-Sapta mengandung tujuh ajaran yang merupakan sifat-sifat yang secara kodrati terdapat dalam diri manusia. Ketujuh sifat tersebut apabila tidak dapat dikoordinasikan secara baik maka akan menyeret diri manusia ke arah perbuatan asosial, namun sebaliknya apabila sifat-sifat itu dikendalikan dengan baik justru akan dapat membentuk manusia utama, baik secara kualitas maupun kuantitas. Perlu menjadi catatan, karena ketujuh sifat di atas merupakan sifat yang kodrati dan manusiawi; oleh karena itu, apabila manusia dalam hidupnya mengalami hal-hal tersebut di atas sebagai penyimpangan maka Wedha-Ma-Sapta ternyata memberi toleransi sejauh peruatan tersebut masih dalam batas-batas yang wajar.
B.Nilai nilai filosofis yang terkandung dalam Serat Wedha-Ma-Sapta
Setiap manusia mempunyai pandangan hidup, sebab setiap manusia mempunyai akal untuk berfantasi. Fantasi itulah yang menyebabkan manusia berangan-angan, bercita-cita dan berkeinginan untuk merealisasikannya. Setiap insividu tidak sama pandangan hidupnya, bahkan masing-masing kelompok, golongan yang ada di dalam masyarakat juga tidak sama pandangannya. Pandangan hidup itulah yang digunakan sebagai sarana mencapai tujuan dan ada pula yang memperlakukan sebagai penyebab kesejahteraan, ketenteraman dan sebagainya (Habib Mustafa via Hartini : 2005).
Pernyataan di atas juga diungkapkan dalam pupuh I bait 1 tembang Dhandhanggula yang berbunyi :
“………………………………………..,
dimen dadi memanise,
laksitaning tumuwuh,
ywa ngalakoni tindak tan yukti,
darpon mamriha arja,
tinemu rahayu,
rahayu mangka gegaran,
paugeran jejer lan jujuring kapti,
ywa kerem mring kareman.
Artinya :
“………………………………………,
supaya hidup dan keturunannya menjadi baik,
jangan melakukan perbuatan yang jahat,
agar menjadi selamat dan bahagia,
sebab kebaikan itu sebagai pegangan dan pedoman hidup.
Kepribadian dasar orang timur adalah pandangan hidupo yang bernafaskan kerokhanian, mistik, keramahtamahan dan kehidupan kolektif (Prabowo Utomo, 1984: 104). Tolok ukur arti pandangan duni bagi orang Jawa adalah pragmatisnya untuk mencapai suatu psikis tertentu yaitu ketenangan, ketenteraman dan keseimbangan batin (Frans Magnis Suseno, 1984: 82). Orang Jawa dalam hidupnya di dunia dini mayoritas lebih mementingkan segi batiniah dari pada segi lahiriahnya. Hal itu terungkap dalam pupuh II, tembang Pangkur bait 5 dan 6 sebagai berikut :
“wigatine wong nen donya,
ambudia katentremaning kapti,
sanadyana pangkat luhur,
montang-manting solahnya,
bebasane rusak jiwa raganipun,
sayekti nora kepenak
pacangane tembe mburi.
Donya kanggo pendadaran,
……………………………,
gebyaring donya punika,
seyekti anyenyulapi.
Artinya :
Kepentingan orng hidup di dunia,
berusahalah mencari ketenteraman hati,
meskipun berpangkat tinggi,
tingkahnya pontang-panting,
ibarat rusak jiwa raganya,
sungguh tidak baik,
harapan masa depan.
Dunia ini sebagai tempat pendadaran,
……………………………………….,
karena kemewahan dunia,
ini sungguh-sungguh menyilaukan.
Untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur hendaknya kita mengetahui etika. Karena etika merupakan filsafat tingkah laku atau filsafat moral. Oleh karena itu, manusia harus berkelakuan baik, saleh, bertakwa kepada Tuhan dan menjaukan hal-hal yang jelek (Sri Mulyono, 1983: 26). Hal itu sesuai dengan isi yang terkandung dalam pupuh V tembang Dhandhanggula bait 1 dan 3.
“ nggegulanga laku kang prayogi,
wonga urip aneng ngalam-donya,
kang bener becik patrape,
ingkang jejeg lan jujur,
jujur iku jejering urip,
………………………….,
Ganjarane Pangeran ngluwihi,
mring manungsa kang tindak utama,
utama lelabuhane,
angedohi pepacuh,
anyedhaki dhawuh kang becik,
……………………………….,
Artinya :
Berikhtiarlah/berbuatlah yang baik,
orang hidup di dunia,
harus benar, baik perbuatannya,
harus teguh dan jujur,
karena jujur itu pegangan hidup,
………………………………….
Pahala Tuhan itu sangat besar,
bagi manusia yang selalu berbuat baik,
sangat berjasa kepada sesamanya,
menjauhi larangan Tuhan,
dan selalu menjalankan perintah-Nya,
……………………………………….
Masalah moral lebih menitikberatkan pada soal perbuatan manusia itu sendiri (Pujianto, tt: 176). Memang moral merupakan kunci utama dari pembangunan karakter dan pembangunan bangsa (character and nation building). Thomas Jepersen pernah pula mengemukakan pendapatnya tentang moral: material abundance without character in the way to distruction “kekayaan material tanpa akhlak merupakan jalan kehancuran yang paling pasti”. Hidup dan bangunnya suatu bangsa tergantung pada akhlaknya. Juka tidak lagi berpegang teguh kepada norma-norma itu maka bangsa itu akan mengalami kemusnahannya.
Ada beberapa sifat yang dibenci orang Jawa, yakni sifat dahwen open ‘kebiasaan mencampuri urusan orang lain’,drengki ‘budi yang rendah’, srei ‘iri’, jail ‘suka mencela’ dan methakil ‘kasar’. Disebutkan bahwa “sira aja dhemen memaoni, nacad, nyeda, ngrerasani ala, lah iya dudu benere” (Pupuh V Dhandhanggula, pada/bait 5). Artinya : engkau jangan senang mencela, menggunjing kejelekan orang lain, karena perbuatan itu tidak baik.
Orang Jawa juga mengenal falsafah “sapa gawe nganggo, sapa nandur ngundhuh” artinya bahwa segala kejadian yang menimpa manusia, suka duka sebenarnya adalah hasil perbuatannya sendiri. Contoh falsafah dapat diketahui dalam pupuh I Dhandhanggula bait 13 sebagai berikut :
“Yen wong priya kena lara estri, lamun mijekken mring rabinira, sayekti ala dadine, turun-turune besuk, darbe cacad kang nguwatiri, kaya ta duwe lara, sipilis ranipun, sarandune badan bubrah, taru barah, kowak nyang mata sok bijil, kadhang picak babar pisan”.
Artinya :
Apabila lelaki tertimpa oleh penyakit akibat main perempuan, jika bersenggama dengan isterinya, kelak keturunannya tidak baik, mempunyai cacad yang mengkhawatirkan, misalnya mengidap penyakit sipilis, sekujur badan menjadi rusak dan luka, bahkan menyebabkan mata menjadi buta.
Dari kutipan di atas jelaslah bahwa orang yang sering/senang main perempuan akan berakibat buruk sebagai hasilnya, keturunannya akan menderita cacad atau sakit rajasinga, badan menjadi rusak, bahkan mata dapat menjadi buta. Oleh karena itu, sedapat mungkin kita berusaha menghindari perbuatan tersebut. Dengan begitu berarti kita telah ikut melestarikan kwalitas kepribadian generasi penerus. Sebaliknya kalau kita berbuat royal madon berartai kita akan menjerumuskan masa depan generasi muda.
Kepribadian dikatakan utuh apabila kualitas-kualitas jasmani, jiwa akal, rohani saling terpadu. Artinya yang satu menjadi dasar perkembangan bagi yang lain. Jasmani memberi wujud dan kerangka bagi ketajaman akal, kebebasan jiwa dan kedamaian ruh. Akali dan jiwani memberi pemahaman bagi jasmani, serta memberikan jalur rasional bagi ruh. Rohani menghidupkan jasmani serta mengarahkan akal dan jiwa kepada Tuhan (Purwa Hadiwardaya, tt: 196). Untuk mencapai keterpaduan antara kualitas jasmani dan kualitas rohani, terutama generasi muda tidak boleh tidak kecuali harus mampu berbuat baik dan berkarya sesuai dengan tuntutan agama yang dianutnya; serta berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari larangan-larangan Tuhan yang antara lain adalah ma-sapta.
a)Peranan Unsur-unsur Moral Wedha-Ma-Sapta dalam Membentuk Karakter Manusia Utama dari Segi Kebudayaan.
Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia seutuhnya maka ajaran moral dalam Wedha-Ma-Sapta pantas dilaksanakan dalam kehidupan setiap insan Indonesia guna membentuk karakter menusia pembangunan. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa gambaran perilaku yang berkaitan dengan ajaran ma-sapta, dimulai ma = madon hingga ma = mangani. Diharapkan agar kita mengetahui akibat-akibat dari pada perbuatan ma-sapta, yang selanjutnya kita dapat menghindarinya sehingga dapat mencapai tujuan sebagai manusia utama.
Bait 26 Dhandhanggula “candrane royal madon” disebutkan :
“Luwih lara larane kang ati,
nora kaya wong kang mentas royal,
tiba apes lelakone,
barang donyane mamprung,
bebasane nganti tek enting,
tur oleh budhel lara,
irunge garuwung,
lelakome nistha papa,
papariman asor genira dumadi,
tan lumrah wong sasama”;
Artinya :
Rasa sakit hati yang berlebihan,
tidak seperti orang yang sehabis melacur,
jatuh celaka hidupnya,
harta bendanya habis,
ibaratnya tak ada yang tertinggal,
lagipula mendapat penyakit,
hidungnya geruwung,
hidupnya jatuh nistha,
hidup sebagai orang hina,
dikucilkan masyarakat.
Dari gambaran di atas dapatlah diambil suatu hikmah bahwa orang yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsu birahinya, walaupun telah beristri akhirnya terjerumus di dalam lembah hitam/pelacuran, maka akan terasa bila semuanya itu sudah berantakan. Jelaslah bahwa bagi orang yang dapat menjauhi perilaku royal madon ini akan dapat memenuhi satu di antara sekian persyaratan membentuk manusia utama.
Dalam ajaran moral yang dapat dipetik dari ma = main yakni pada bait 8 pupuh Pangkur mengatakan hal-hal yang baik daripada perbuatan berjudi,
“………………………………………..
wong dhemen kertu punika,
sugih paseduluran,
sanak miwah pawong mitra kadang karuh,
padha tunggal kasenengan,
keket rapet tunggal budi.
Artinya :
…………………………………..
orang yang suka berjudi (main kartu) itu,
kaya akan persaudaraan,
orang-orang yang sama kesenangannya,
akrab bagaikan satu pemikiran.
Adapun gambaran yang diungkapkan dalam Serat Wedha-Ma-Sapta mengenai akibat orang yang suka berjudi kartu termuat dalam bait 9 pupuh Sinom, yang berbunyi sebagai berikut :
“Wong main yekti tan ana,
kang mulya dadi wong sugih,
lumuh mung wong sugih setiyar,
satemene montang-manting,
utange andhirindhil,
kluwus cahyane apayus,
tansah ngrasakake susah,
tan tentrem sajroning ati,
anak bojo padha nandhang karusakan.
Artinya :
Orang yang suka berjudi,
sesungguhnya tidak ada yang bahagia dan kaya,
biasanya hanya kaya dalam hal usaha,
sebenarnya merasakan kebingungan,
hutangnya dimana-mana,
lagi pula pucat mukanya,
selalu merasakan kesedihan,
tidak tenteram di dalam hatinya,
anak istri ikut menanggung kesusahan.
Uraian di atas menggambarkan bahwa meskipun berjudi kartu itu ada manfaatnya (nilai positif) tetapi jelas kejelekannya (nilai negatifnya) lebih banyak. Oleh karena itu, apabila kita dapat menghindarinya berarti satu unsure lagi telah terpenuhi sebagai syarat mencapai manusia utama.
Pembentukan karakter manusia yang baik dapat dilakukan dengan jalan menjauhi madad ‘minum candu’. Kebiasaan menghisap candu jelas menimbulkan akibat yang tidak kita inginkan, seperti dijelaskan dalam Serat Wedha-Ma-Sapta bait 1 pupuh Dhandhanggula sebagai berikut :
“Bebasane wong nyeret puniki,
kaya nglalu nglampus suduk jiwa,
bunuh dhiri upamane,
lumrah awake kuru,
donya bandha barangi gusis,
temah tiba sangsara,
memelas dinulu,
terkadhang nglakoni nistha,
anjejaluk papariman ngemis-ngemis,
perlu dingo seretan.
Artinya :
Orang suka menghisap candu itu ibaratnya,
seperti orang sengaja bunuh diri,
biasanya badannya kurus,
harta bendanya habis sama sekali,
akibatnya jatuh sengsara,
terlihat mengibakan hati,
bahkan ingin berbuat nista,
melakukan perbuatan minta-minta,
hanya untuk dapat menghisap candu.
Pada tataran berikutnya, dalam Serat Wedha-Ma-Sapta mengutarakan tentang ma – minum dan ma – maling ‘mencuri’. Di sini menguraikan dengan jelas kejelekan-kejelekan dan akibat-akibat perbuatan minum dan maling. Dari uraian itu tidak ada unsur yang perlu diteladani sama sekali, kecuali harus menghindari guna mencapai tujuan pembentukan karakter manusia utama.
Tataran ma selanjutnya adalah ma – maoni ‘suka mencela’. Di dalam ma – maoni ini pada dasarnya juga tidak ada unsur positifnya, sebab perbuatan demikian biasanya mengundang percek-cokan, perselisihan antara orang-orang yang difitnah/mencela sehingga mengakibatkan retaknya hubungan persaudaraan. Di bawah ini disajikan kutipan bait 5 pupuh Dhandhanggula dan bait 15 pupuh Kinanthi yang menggambarkan begitu beratnya dosa orang-orang yang suka memfitnah/menggunjing.
Bait 5 Dhandhanggula :
“Sira aja dhemen memaoni,
nacad nyeda ngrerasani ala,
lah iya dudu benere,
tumindak kang kadyeku,
luwung sira mlaku kang becik,
………………………………..”.
Bait 15 Kinanthi :
“Dosane wong dhemen nyatur,
padha karo dosa pati,
……………………………….”.
Artinya :
Engkau jangan suka menggunjing,
mencela dan menjelekan orang lain,
karena hal itu tidak benar,
daripada berbuat yang demikian,
lebih baik engkau berbuat yang baik,
………………………………. .
Dosa bagi orang yang suka menggunjing, sama besarnya
dengan membunuh orang,
……………………………..
Tataran terakhir adalah ma-mangani. Pada bagian ini pengarang Wedha-Ma-Sapta nampaknya hendak menunjukkan kepada pembaca bahwa model yang tepat bagi manusia dalam hubungannya dengan “makan” ini ialah menempatkan manusia sebagai subjek yang sadar bahwa makan merupakan sarana untuk hidup. Sebagaimana diungkapkan pada bait 3 pupuh Sinom :
“Ana paribasanira,
mangana kanggo urip,
ywa urip perlu memangan,
tegese mangkono kaki,
mangan kanggo nguripi,
jasadira sakarsamu,
tuwuk dikaya ngapa,
aja ngluwihi panci,
anggere wis bisa urip kang mejana,”
Hal itu berarti secara konotatif mengandung konsep bahwa ukuran keberhasilan, kepuasan hidup janganlah diukur secara kuantitatif, fenomenal, eksistensial saja (…tuwuk dikaya ngapa, aja ngluwihi panci …). Sedang pada bait 4 dan 5 pupuh yang sama menunjukkan sikap-sikap seseorang yang mementingkan biologis saja dalam hal mengejar kemakmuran jasmani sebagai keberhasilan hidupnya.
“Yen urip perlu memangan,
kasasar driyanta kaki,
jeneng angumbar luamah,
nora nganggo den watawis,
sakarsa-karsaneki,
budine gedhekke wadhuk,
tan nganggo duga-duga,
anggere melek angemil,
tam weweka lerene mangan yen nendra.
Nora nganggo ringa-ringa,
tan mikir laku utami,
anggedhekake memangan,
dhemene amblodhir tai,
mikir ambaning silit,
lan melaring juburipun,
mbededeng wetengira,
wudele nganti malirik,
isih ngramal mengko sore mangan apa”.
Contoh-contoh bait berikutnya yang menunjukkan perdebatan masalah kualitas dan kuantitas kehidupan melalui teladan-teladan berupa kisah Pandawa lilma dengan Korawa. Hal itu jelas menunjukkan unggulnya unsur kualitas disbanding dengan unsur kuantitas. Kalau bait 4 di atas disebutkan bahwa seseorang yang menuruti nafsu makan sebagai tujuan hidup dilukiskan sebagai mengumbar nafsu alumah yang secara konotatif diwakili sebagai tokoh-tokoh Korawa.
Pengarang Wedha-Ma-Sapta dalam menguraikan keunggulan Pandawa mengenai ketabahannya dalam menjalankan tarak brata justru akan membentuk sifat sabar, telaten, dan introspeksi serta membentuk watak sosial berdasar sifat cinta kasih kepada sesama makhluk. Sikap sabar, teliti dan introspeksi ini merupakan dasar yang penting bagi proses pembentukan sifat dan moral ilmuwan di dalam menciptakan, menemukan dan menghasilkan sesuatu output berupa ilmu pengetahuan baru. Hal itu dapat terlaksana, jika di samping sifat sabar, teliti juga disertai unsur kreativitas ilmuwan yang bersangkutan.
Sebagai catatan kritis, dalam situasi sekarang ini (alam yang berdimensi pembangunan seutuhnya baik material maupun spiritual, jasmani maupun rohani), maka kebutuhan makan juga menduduki sarana penting di samping kebutuhan papan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Namun yang dimaksud di sini bukan pada unsur makanannya, tetapi yang penting adalah gizi makanan tersebut sebagai salah satu faktor yang mendukung lahirnya generasi yang berkualitas unggul.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian di depan dapat ditarik kesimpulan bahwa jika ditinjau dari perspektif kekinian (kontemporalitas), maka peringatan-peringatan pengarang tentang makanan dalam Serat Wedha-Ma-Sapta ini tidak lain adalah fungsi makanan untuk memenuhi kebutuhan biologis seseorang yang tidak terkontrol dapat berpengaruh negative kepada kesadaran seseorang tersebut. Implikasinya dapat menyebabkan orang bersifat loba, tamak bahkan serakah. Hal itu merupakan bibit timbulnya keresahan sosial.
Secara umum Serat Wedha-Ma-Sapta mengandung nilai nilai filosofis sebagai berikut :
1.Etika yang dianut di dalam Serat Wedha-Ma-Sapta secara ontologism bersifat deterministis artinya kebebasan manusia secara eksistensial dibatasi norma-norma moral yang bersumber pada warisan budaya tradisional.
2.Pada dasarnya untuk dapat menjadi manusia utama, orang harus menjalani ajaran yang positif dan meninggalkan semua larangan yang termuat di dalam Wedha-Ma-Sapta.
3.Ajaran yang berupa larangan-larangan yang terkandung dalam Serat Wedha-Ma-Sapta ternyata ada relevansinya dengan larangan-larangan yang terdapat di dalam ajaran agama.
4.Apabila manusia dapat menjalani ajaran yang bersifat positif dan menghindarkan diri dari semua bentuk larangan yang ada di dalam Serat Wedha-Ma-Sapta, berarti tujuan pembentukan karakter manusia utama diharapkan dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Danandjadja, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers
Mulyani, Hesti. 2008. Diktat Mata Kuliah Komprehensi Tulis Lanjut.Tidak diterbitkan. Universitas Negeri Yogyakarta.
Purwadi. 2008. Etika Jawa. Diktat mata kuliah yang tidak diterbitkan.
Purwadi. 2007. Filsafat Jawa. Yogyakarta : Cipta Pustaka
Sri Mulyono. 1983. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta : Gunung Agung.
http://rumahbelajarpsikologi.com
0 komentar:
Posting Komentar